Jacub Punto, Raja ti Karajaan Sieu Sangihe
Talau Manado Sulawesi Utara yang dibuang Belanda Taun 1889 dari Menado
ke Cirebon Provinsi Jawa Barat. Sebab ia melakukan perlawanan dengan
tidak membayar pajak ke Belanda sampai meninggalnya di Desa Sangkanurip
Kec Cilimus Kab Kuningan Tahun 1890. Ia dikuburkan di pemakaman umum
Dusun Simenyan desa tersebut.
Jacub
Punto, tidak dibawa ke kampung halamannya di Menado. Sebab pada masa
itu, masyarakat tidak mengetahui asal-usulnya. Selain itu, pihak Belanda
tidak ikut bertanggungjawab dengan mengurusi jenajahnya agar dapat
dipulangkan ke Menado. Seperti diungkapkan Suparma (80) salah satu tokoh
masyarakat yang tinggal di RT 23/7 Kampung Simenyan Desa Sangkanurip.
“Jasad
Yacub Punto, dibiarkan begitu saja. Belanda, tidak memiliki perasaan
bahwa yang meninggal itu adalah manusia. Justru mereka merasa senang
dengan kematiannya. Sebab Belanda, sepertinya memiliki pemikiran tidak
ada lagi pihak yang akan melakukan perlawan di Menado dan sekitarnya.
Hal itu mengundang keperihatinan warga,” ungkapnya.
Suparma,
menceritakan pengetahuannya, sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh
tetua desanya. Pada saat itu, masyarakat Desa Sangkanurip dihebohkan
dengan ditemukannya seorang mayat yang mengambang di tempat pemandian
air panas di daerahnya. Padahal pemandian air panas itu milik bangsa
Belanda (sekarang status kepemilikannya ada pada Pemkab Kuningan yang
dikelola pihak swasta).
Masyarakat
setempat tidak mengetahui identitas mayat tersebut. Pada masa itu,
masyarakat merasa takut terhadap Belanda. Sehingga tidak berusaha
mengetahui identitasnya. Kendati demikian, mereka berusaha mengurusi
mayat meski tidak mengetahui asal-usulnya. Begitu pun agamanya. Karena
ketidaktahuan warga, mengurusi mayat disesuaikan dengan kondisi
keagamaannya yakni Islam.
Mayat
itu, di bawa ke balai kampung, kemudian dimandikan, disolatkan, dan
dikuburkan di tempat pemakaman umum milik desa. Mengurus mayat sesuai
dengan kebiasaan dan kemampuan. “Andai saha tahu yang meninggal itu
bukan Islam, tentunya menggunakan cara-cara yang sesuai agamanya. Namun
karena tidak tahu ya sesuai agama kami, Islam,” ucapnya.
Lanjutnya,
“pada saat itu kita harus bertanya ke siapa mengenai identitas si
mayat? Pada jaman itu kan disebutnya jaman susah (werit) masyarakat
tidak lepas dari pengawasan Bangsa Belanda. Apalagi yang meninggal itu
diwartakan seorang tahanan politik. Ya secara terpaksa, menguburkannya
tidak seperti sekarang-sekarang ini,” tutur Suparma.
Pihaknya
pun bingung, kata Suparma, kalau mau mengadakan tahlilan pun tempatnya
di mana. Ketua kampung saja menolak, apalagi masyarakat. Sebab warga
dipenuhi ketakutan di laporkan ke pihak Belanda. Belanda setiap malam
melakukan penjagaan ketat di Desa Sangkanurip. Mengawasi seluruh
gerak-gerik warga sehingga dicekam rasa ketakutan.
Selama
itu pula identitas yang meninggal di pemandian air panas menjadi misteri
masyarakat. Namun setelah merdeka atau kurang lebih 69 tahun setelah
wafatnya Yacub Punto, tepatnya Tahun 1959. Sebab ada keturunannya yang
bernama GD Ponto, melakukan pencarian leluhurnya yang sudah meninggal.
Setelah dibuang Belanda ke Cirebon.
Sejak
itu, masyarakat mengetahui identitasnya, bahwa kuburan misteri itu jelas
asal usulnya. Ia adalah seorang raja dari Kerajaan Sieu Sangihe Talau
Menado, Sulawesi Selatan. Ia dinobatkan jadi raja sejak Taun 1851-1890.
selama dua tahun berada di tahanan di Cirebon dan sampai mengalami sakit
parah serta tidak tertolong lagi. Padahal jika bangsa Belanda mengurus
tahanan politiknya.
Barang
tentu memberikan bantuan medis. Apalagi, ia seorang raja. Tapi
diperlakukan sebaliknya. Hal itu membuat kecewa masyarakat Sangkanurip,
saat itu. Sewaktu dirinya mengetahui Jacub Punto seorang raja yang gagah
berani. Memerjuangkan hak-hak rakyat yang dijajahnya dengan melakukan
perlawanan. Baik secara fisik maupun menolak kebijakannya.
Sebagai
raja, tentunya memiliki rasa tanggung jawab dan tidak mau diinjak-injak
bangsa lain. Ia mengobarkan api perjuangan dengan melakukan kontak
fisik. Banyak korban dari kedua belah pihak. Ia pun memerintahkan
rakyatnya agar tidak membayar pajak. Akhirnya Belanda merasa kewalahan,
dan tidak mampu melawan keberanian masyarakat Singe Talau dan rajanya.
Belanda,
akhirnya menangkap Jacub Punto dan dibuang ke Cirebon pada Taun 1888
dari keraton. Sebelumnya ia dijebloskan ke penjara di Talau Menado.
Namun dikarenakan rakyatnya memberikan dukungan dan meminta dorongan
dari penjara, akhirnya Belanda membawanya ke Cirebon Taun 1889.
“Tahun
1959, Jacub Punto diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Pemerintah pun membangun makamnya, dan setiap hari-hari besar nasional.
Di tempat itu diadakan upacara. Namun paska reformasi, kuburannya tidak
ada yang mengurus, apalagi diadakan upacara hari-hari besar nasional,”
pungkasnya.***
Note : Harian Kompasmakam-raja-menado-terdapat-di-kabupaten-kuningan