Senin, 09 Juni 2014

Makam Raja Menado Terdapat di Kabupaten Kuningan

Jacub Punto, Raja ti Karajaan Sieu Sangihe Talau Manado Sulawesi Utara yang dibuang Belanda Taun 1889 dari Menado ke Cirebon Provinsi Jawa Barat. Sebab ia melakukan perlawanan dengan tidak membayar pajak ke Belanda sampai meninggalnya di Desa Sangkanurip Kec Cilimus Kab Kuningan Tahun 1890. Ia dikuburkan di pemakaman umum Dusun Simenyan desa tersebut.
Jacub Punto, tidak dibawa ke kampung halamannya di Menado. Sebab pada masa itu, masyarakat tidak mengetahui asal-usulnya. Selain itu, pihak Belanda tidak ikut bertanggungjawab dengan mengurusi jenajahnya agar dapat dipulangkan ke Menado. Seperti diungkapkan Suparma (80) salah satu tokoh masyarakat yang tinggal di RT 23/7 Kampung Simenyan Desa Sangkanurip.
“Jasad Yacub Punto, dibiarkan begitu saja. Belanda, tidak memiliki perasaan bahwa yang meninggal itu adalah manusia. Justru mereka merasa senang dengan kematiannya. Sebab Belanda, sepertinya memiliki pemikiran tidak ada lagi pihak yang akan melakukan perlawan di Menado dan sekitarnya. Hal itu mengundang keperihatinan warga,” ungkapnya.
Suparma, menceritakan pengetahuannya, sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh tetua desanya. Pada saat itu, masyarakat Desa Sangkanurip dihebohkan dengan ditemukannya seorang mayat yang mengambang di tempat pemandian air panas di daerahnya. Padahal pemandian air panas itu milik bangsa Belanda (sekarang status kepemilikannya ada pada Pemkab Kuningan yang dikelola pihak swasta).
Masyarakat setempat tidak mengetahui identitas mayat tersebut. Pada masa itu, masyarakat merasa takut terhadap Belanda. Sehingga tidak berusaha mengetahui identitasnya. Kendati demikian, mereka berusaha mengurusi mayat meski tidak mengetahui asal-usulnya. Begitu pun agamanya. Karena ketidaktahuan warga, mengurusi mayat disesuaikan dengan kondisi keagamaannya yakni Islam.
Mayat itu, di bawa ke balai kampung, kemudian dimandikan, disolatkan, dan dikuburkan di tempat pemakaman umum milik desa. Mengurus mayat sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan. “Andai saha tahu yang meninggal itu bukan Islam, tentunya menggunakan cara-cara yang sesuai agamanya. Namun karena tidak tahu ya sesuai agama kami, Islam,” ucapnya.
Lanjutnya, “pada saat itu kita harus bertanya ke siapa mengenai identitas si mayat? Pada jaman itu kan disebutnya jaman susah (werit) masyarakat tidak lepas dari pengawasan Bangsa Belanda. Apalagi yang meninggal itu diwartakan seorang tahanan politik. Ya secara terpaksa, menguburkannya tidak seperti sekarang-sekarang ini,” tutur Suparma.
Pihaknya pun bingung, kata Suparma, kalau mau mengadakan tahlilan pun tempatnya di mana. Ketua kampung saja menolak, apalagi masyarakat. Sebab warga dipenuhi ketakutan di laporkan ke pihak Belanda. Belanda setiap malam melakukan penjagaan ketat di Desa Sangkanurip. Mengawasi seluruh gerak-gerik warga sehingga dicekam rasa ketakutan.
Selama itu pula identitas yang meninggal di pemandian air panas menjadi misteri masyarakat. Namun setelah merdeka atau kurang lebih 69 tahun setelah wafatnya Yacub Punto, tepatnya Tahun 1959. Sebab ada keturunannya yang bernama GD Ponto, melakukan pencarian leluhurnya yang sudah meninggal. Setelah dibuang Belanda ke Cirebon.
Sejak itu, masyarakat mengetahui identitasnya, bahwa kuburan misteri itu jelas asal usulnya. Ia adalah seorang raja dari Kerajaan Sieu Sangihe Talau Menado, Sulawesi Selatan. Ia dinobatkan jadi raja sejak Taun 1851-1890. selama dua tahun berada di tahanan di Cirebon dan sampai mengalami sakit parah serta tidak tertolong lagi. Padahal jika bangsa Belanda mengurus tahanan politiknya.
Barang tentu memberikan bantuan medis. Apalagi, ia seorang raja. Tapi diperlakukan sebaliknya. Hal itu membuat kecewa masyarakat Sangkanurip, saat itu. Sewaktu dirinya mengetahui Jacub Punto seorang raja yang gagah berani. Memerjuangkan hak-hak rakyat yang dijajahnya dengan melakukan perlawanan. Baik secara fisik maupun menolak kebijakannya.
Sebagai raja, tentunya memiliki rasa tanggung jawab dan tidak mau diinjak-injak bangsa lain. Ia mengobarkan api perjuangan dengan melakukan kontak fisik. Banyak korban dari kedua belah pihak. Ia pun memerintahkan rakyatnya agar tidak membayar pajak. Akhirnya Belanda merasa kewalahan, dan tidak mampu melawan keberanian masyarakat Singe Talau dan rajanya.
Belanda, akhirnya menangkap Jacub Punto dan dibuang ke Cirebon pada Taun 1888 dari keraton. Sebelumnya ia dijebloskan ke penjara di Talau Menado. Namun dikarenakan rakyatnya memberikan dukungan dan meminta dorongan dari penjara, akhirnya Belanda membawanya ke Cirebon Taun 1889.
“Tahun 1959, Jacub Punto diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Pemerintah pun membangun makamnya, dan setiap hari-hari besar nasional. Di tempat itu diadakan upacara. Namun paska reformasi, kuburannya tidak ada yang mengurus, apalagi diadakan upacara hari-hari besar nasional,” pungkasnya.***